Pages

Rabu, 27 Agustus 2014

PEMBENTUKAN AKHLAKUL KARIMAH

Amal berdasarkan ilmu yang benar maka terbentuklah akhlakul karimah

Dengan mereka terhasut oleh hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi, agar mereka memahami Al Qur’an dan As sunnah dengan akal pikiran mereka sehingga menimbulkan perselisihan di antara kaum muslim karena perbedaan pemahaman, pada hakikatnya mereka secara tidak langsung telah menjadi perpanjangan tangan kaum Zionis Yahudi untuk meruntuhkan ukhuwah Islamiyah.
Dalam tulisan sebelumnya pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/02/02/potongan-perkataan-ulama/ telah diuraikan bagaimana mereka terhasut oleh potongan perkataan ulama.
Dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/02/03/terhasut-pengalihan-makna/ telah diuraikan bagaimana mereka terhasut oleh pengalihan makna perkataan ulama.
Dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/02/05/menyalah-maknakan-hadits/ telah diuraikan bagaimana mereka terhasut oleh penyalah makna dari hadits.
Dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/02/08/terhasut-pembatasan-makna/
telah diuraikan bagaimana mereka terhasut oleh pembatasan makna dari firman Allah ta’ala contohnya  “sabilil mu’minin” , “jalan orang-orang mu’min” (QS An Nisaa’ [4] : 115)  terbatas hanya pada para Sahabat saja atau dengan kata lain mereka ingin mengada-ada “keharusan” mengikuti manhaj salaf atau mazhab salaf.
Padahal Imam Mazhab yang empat yang bertalaqqi (mengaji) dengan Salafush Sholeh tidak pernah menyampaikan adanya “keharusan” mengikuti manhaj salaf atau mazhab salaf.  “Keharusan” hanyalah mentaati Allah ta’ala dan mentaati RasulNya serta mentaati ulil amri yang mentaati Allah ta’ala dan RasulNya.
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya “wahai orang-orang beriman taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rosul-Nya dan ulil amri di antara kamu ” (QS An Nisa’ : 59 )
Adapun maksud dari ulil amri dalam ayat tersebut menurut Ibnu Abbas ra, sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Thobari dalam tafsirnya adalah para pakar fiqih dan para ulama yang komitmen dengan ajaran Islam.
Ketaatan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada hakikatnya telah mengikuti Salafush Sholeh.
Begitupula mengikuti Imam Mazhab yang empat yang melihat langsung penerapan, perbuatan serta contoh nyata jalan atau cara beribadah dari Salafush Sholeh pada hakikatnya telah mengikuti Salafush Sholeh.
Sebaliknya mereka yang merasa mengikuti Salafush Sholeh kenyataanya mereka hanyalah mengikuti  para ulama yang mengaku-aku mengikuti Salafush Sholeh namun tidak bertalaqqi (mengaji) dengan Salafush Sholeh dengan kata lain mereka pada hakikatnya tidak mengikuti Salafush Sholeh namun mengikuti akal pikiran para ulama mereka semata.
Contohnya sebagaimana telah diuraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/02/08/mencegah-keji-mungkar/  bagaimana salah satu ulama panutan mereka tidak dapat “melihat” bagaimana sholat mencegah perbuatan keji dan mungkar termasuk mencegah perbuatan maksiat.
Jikalau  telah menjalankan sholat dan  merasa telah memenuhi syarat dan rukun sholat namun tetap melakukan perbuatan keji dan mungkar ataupun perbuatan  maksiat ada dua kemungkinan “gagal” sholat mencegah perbuatan keji dan mungkar yakni
1.    Ilmu yang dipahami oleh mereka tentang syarat dan rukun sholat adalah keliru dikarenakan menyelisihi apa yang disampaikan oleh Imam Mazhab yang empat yang telah melihat langsung cara sholat Salafush Sholeh yang mengikuti cara sholat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Cara sholat mereka mengikuti akal pikiran mereka sendiri hasil belajar sendiri (secara otodidak) melalui cara muthola’ah, menelaah kitab.
2.    Amal sholatnya tidak khusyuk sehingga tidak menjadikan mereka muslim  yang berakhlakul karimah atau muslim yang Ihsan.
Urutannya adalah ilmu -> amal -> akhlak
Berdasarkan ilmu yang didapat kita melaksanakan amal sholat, amal sholat yang selalu dilakukan dengan benar dan khusyuk membentuk muslim yang berakhlak baik atau berakhlakul karimah. Muslim yang berakhlak baik adalah muslim yang ihsan
Ada dua kondisi yang dicapai oleh muslim yang ihsan atau muslim yang telah berma’rifat.
Kondisi minimal adalah mereka yang selalu merasa diawasi oleh Allah Azza wa Jalla.
Kondiri terbaik adalah mereka yang berma’rifat atau mereka yang dapat melihat Allah Azza wa Jalla dengan hati (ain bashiroh)
قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الْإِحْسَانُ قَالَ أَنْ تَخْشَى اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنَّكَ إِنْ لَا تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut (takhsya / khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya (bermakrifat),  maka jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.’ (HR Muslim 11)
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati (bermakrifat)”
Sebuah riwayat dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah engkau melihat Tuhanmu ketika engkau menyembah-Nya?” Beliau menjawab: “Saya telah melihat Tuhan, baru saya sembah”. Bagaimana anda melihat-Nya? dia menjawab: “Tidak dilihat dengan mata yang memandang, tapi dilihat dengan hati yang penuh Iman (bermakrifat)”
Rasulullah bersabda “Iman paling afdol ialah apabila kamu mengetahui bahwa Allah selalu menyertaimu dimanapun kamu berada“. (HR. Ath Thobari)
Bagi muslim yang sholatnya benar dan khusyuk maka akan mencapai muslim yang Ihsan, minimal akan timbul keyakinan pengawasan Allah Azza wa Jalla  terhadap segala sikap dan perbuatan sehingga selalu akan berupaya menghindari perbuatan maksiat, menghindari perbuatan keji dan mungkar  dan menghindari segala perbuatan yang dibenci oleh Allah Azza wa Jalla.
Muslim yang Ihsan akan mencapai miminal muslim yang sholeh (sholihin) sebagai bukti nyata dari ketaatan terhadap Allah Azza wa Jalla dan RasulNya sehinga berkumpul dengan 4 golongan manusia yang mendapatkan maqom disisiNya lainnya
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya .” (QS An Nisaa [4]: 69 )
Semakin dekat kita kepada Allah sehingga menjadi kekasihNya (Wali Allah). Maqom Shiddiqin atau kedekatan dengan Allah diuraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/09/09/2011/09/28/maqom-wali-allah/
Muslim yang Ihsan , mereka itu mahfudz (dipelihara) dengan pemeliharaan Allah Azza wa Jalla terhadap orang-orang sholeh.
Firman Allah ta’ala yang artinya, ”…Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang dikehendaki…” (QS An-Nuur [24]:21)
Muslim yang dikehendaki oleh Allah Azza wa Jalla adalah mereka yang meraih maqom disisiNya, minimal adalah muslim yang sholeh.
Menurut Al-Hakim al-Tirmidzi (205-320H/ 820-935M) , muslim yang mendapatkan maqom disisiNya hingga mencapai al-awliya ‘ishmah berarti mahfudz (terjaga) dari  kesalahan sesuai dengan derajat, jenjang, dan maqamat mereka. Mereka mendapatkan ‘ishmah sesuai dengan peringkat kewaliannya.
Adanya pemeliharaan, cinta kasih, dan pertolongan Allah kepada al-awliya (wali Allah)  sedemikian rupa merupakan manifestasi dari makna al-walayah (kewalian) yang berarti dekat dengan Allah dan merasakan kehadiranNya, hudhur ma’ahu wa bihi (merasakan kehadiran-Nya oleh diri-Nya)
Firman Allah ta’ala yang artinya,
Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat”. (QS Shaad [38]:46)
Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik”. (QS Shaad [38]:47)
Dalam sebuah hadits qudsi Allah ta’ala berfirman, “jika Aku sudah mencintainya, maka Akulah pendengarannya yang ia jadikan untuk mendengar, dan pandangannya yang ia jadikan untuk memandang, dan tangannya yang ia jadikan untuk memukul, dan kakinya yang dijadikannya untuk berjalan, jikalau ia meminta-Ku, pasti Kuberi, dan jika meminta perlindungan kepada-KU, pasti Ku-lindungi. Dan aku tidak ragu untuk melakukan sesuatu yang Aku menjadi pelakunya sendiri sebagaimana keragu-raguan-Ku untuk mencabut nyawa seorang mukmin yang ia (khawatir) terhadap kematian itu, dan Aku sendiri khawatir ia merasakan kepedihan sakitnya.” (HR Bukhari 6021)
Sedangkan mereka yang melaksanakan sholat namun tetap melakukan perbuatan maksiat atau tidak menyadari kesalahan yang mereka perbuat adalah bukti ketidak-dekatan mereka kepada Allah Azza wa Jalla.
Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang shalatnya tidak mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, maka ia tidak bertambah dari Allah kecuali semakin jauh dariNya” (diriwayatkan oleh ath Thabarani dalam al-Kabir nomor 11025, 11/46)
Imam Al Baihaqi menyebutkan satu riwayat, bahwa Imam As Syafi’i pernah mengatakan,”Aku telah bersahabat dengan para sufi selama sepuluh tahun, aku tidak memperoleh dari mereka kecuali dua perkara ini, ”Waktu adalah pedang” dan “Termasuk kemaksuman, engkau tidak mampu” (maknanya, sesungguhnya manusia lebih cenderung berbuat dosa, namun Allah menghalangi, maka manusia tidak mampu melakukannya, hingga terhindar dari maksiat).
Perkataan Imam As Syafi’i ra yang disampaikan Imam Al Baihaqi tersebut sesuai dengan firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, ”...Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang dikehendaki” (QS An-Nuur:21)
Allah membersihkan siapa saja yang dikehendakiNya , Allah menghalanginya dari  perbuatan keji dan mungkar, menghalanginya dari perbuatan maksiat, menghalanginya dari kesalahan. Inilah penjagaan Allah Azza wa Jalla terhadap mereka yang mendapatkan maqom disisiNya.  Andaikan mereka membuat kesalahan pun maka Allah Azza wa Jalla menyegerakan teguranNya sehingga memberikan kesempatan untuk bertaubat tidak mengundurkan teguran menjadi balasan di akhirat kelak karena mengetahui kesalahan ketika di akhirat kelak adalah menunjukkan ketidak-dekatan dengan Allah Azza wa Jalla
Berikut contoh pemeliharaan Allah subhanahu wa ta’ala  terhadap orang-orang sholeh
Imam asy-Syafi’i berkata: ‘Saya mengadu kepada Waqi’ (guru beliau) buruknya hafalanku, maka dia menasihatiku agar meninggalkan maksiat. Dan ia mengabarkan kepadaku bahwa ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak diberikan kepada pelaku maksiat”.
Setelah Imam asy Syafi’i merunut (mencari tahu) kenapa beliau lupa hafalan Al-Qur’an (hafalan Al-Qur`ânnya terbata-bata), ternyata dikarenakan beliau tanpa sengaja melihat betis seorang wanita bukan muhrim yang tersingkap oleh angin dalam perjalanan beliau ke tempat gurunya.
‘Abdullâh bin Al-Mubarak meriwayatkan dari adh-Dhahak bin Muzahim, bahwasanya dia berkata;”Tidak seorangpun yang mempelajari Al-Qur`ân kemudian dia lupa, melainkan karena dosa yang telah dikerjakannya. Karena Allah berfirman Subhanahu wa Ta’ala : وَمَآأَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ  (“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri”  (QS Asy-Syûra [42]: 30)- . Sungguh, lupa terhadap Al-Qur`ân merupakan musibah yang paling besar * (. Fadha`ilul-Qur`ân, karya Ibnu Katsir, hlm. 147)
Itulah contoh mereka yang disayang oleh Allah ta’ala dan diberi kesempatan untuk menyadari kesalahan mereka ketika masih di dunia.

2 komentar:

Unknown mengatakan...

ya mnurut saya, postingannya itu jangan copas dari mbah google, tapi materi yang sudah di bahas di ROHIS.. okehh ??

Unknown mengatakan...

okeh bos, soalnya waktu itu belum ada artikel atau bahan buat diposting jadi kita copas..